Purwakanthi
PENGGUNAAN PURWAKANTHI DALAM PENYAMPAIAN PITUTUR
Pitutur
dan ungkapan-ungkapan Jawa umumnya disampaikan secara ringkas, dengan padanan
kata bersanjak yang pas sehingga terkesan indah sekaligus mudah diingat.
Misalnya saja dalam mendidik anak kita kenal kata-kata “Asah, Asih dan Asuh”.
Kalimat pendek terdiri dari tiga kata tetapi kalau dibahas bisa tidak ada habis-habisnya.
Padanan dari “a, as dan h”, inilah yang disebut “Purwakanthi”.
Kalimat
pendek dengan padanan kata ini sekaligus menjadi identitas pitutur yang berasal
dari bahasa dan budaya Jawa. Sebagai contoh: “Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ketepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”,
kalimat yang indah dengan pitutur yang bermakna, tetapi menilik panjangnya
kalimat, pasti bukan berasal dari budaya Jawa.
Jenis
Purwakanthi tidak banyak. Pada prinsipnya hanya ada tiga jenis Purwakanthi
yaitu:
a. Purwakanthi
guru swara: Kalau yang runtut adalah “suara”nya (huruf hidup/vokal).
Misalnya “Kapok lombok” dengan padanan vokal “o”.
b. Purwakanthi
guru wanda: kalau yang klop adalah suku katanya. Misalnya “criwis cawis”
dengan padanan “guru wanda” (suku kata) “wis”. Wanda (suku kata) bisa terletak
di depan maupun di belakang.
c. Purwakanthi
guru sastra: kalau yang padan adalah hurufnya. Misalnya “sluman slumun
slamet” (sastra/huruf s dan l)
Berikut
contoh-contoh ungkapan dan pitutur Jawa yang menggunakan Purwakanthi sekaligus
dengan pengertiannya:
1. Anak polah
bapa kepradah: Perilaku anak yang merepotkan orang tuanya
2. Asu belang kalung wang: Asu
belang adalah gambaran anjing kampung, merupakan personifikasi orang hina-hina.
Menggambarkan orang rendahan yang punya uang banyak.
3. Asu gedhe
menang kerahe: Yang lebih kuat pasti lebih kuasa dalam segala hal.
4. Blaba wuda: (Blaba: amat pemurah;
Wuda: telanjang) Saking pemurahnya diri sendiri tidak kebagian.
5. Mburu uceng
kelangan dheleg: (Uceng: ikan kecil-kecil di sungai; Dheleg: Ikan
gabus, dalam bahasa Jawa lazim disebut iwak kutuk. Dalam hal ini supaya ada
purwakanthinya maka tidak disebut mburu uceng kelangan kutuk). Artinya mengejar
barang kecil malah kehilangan yang besar.
6. Cecak nguntal
cagak atau cecak nguntal empyak: Keinginan yang tidak seimbang
dengan kemampuan.
7. Ciri wanci lelai ginawa mati:
Perilaku tidak bisa berubah sampai mati.
8. Dahwen ati open: mencela tetapi
mau/menginginkan
9. Durung pecus keselak besus:
Kompetensi belum memenuhi syarat tapi sudah mau yang bukan-bukan
10.
Esuk dhele
sore tempe: Orang yang pendiriannya berubah-ubah.
11.
Gliyak-gliyak
tumindak, sareh pikoleh:
Biar pelan-pelan tetapi terlaksana.
12.
Kebat
kliwat, gancang pincang: Semua yang dilaksanakan tergesa-gesa hasilnya tidak
sempurna.
13.
Kegedhen
empyak kurang cagak: Keinginan yang lebih besar dari kemampuan.
14.
Kumenthus
ora pecus: Sombong tetapi tidak kompeten.
15.
Lambe
satumang kari samerang: Sudah terlalu banyak memberi nasihat tetapi tidak
dituruti.
16.
Maju
tatu mundur ajur: Serba salah, maju kena mundur kena.
17.
Sabar
sareh mesti pikoleh: Mengerjakan sesuatu tak perlu tergesa-gesa.
18.
Sabaya
pati sabaya mukti: Selalu bersama baik dalam hidup maupun mati.
19.
Sapa
salah seleh: Siapa yang salah akan ketahuan.
20.
Yitna yuwana,
lena kena: Yang waspada akan selamat, yang lengah akan cela.
Komentar
Posting Komentar